Sabtu, 11 Oktober 2008

FOOTBALL (isnot) VS ISLAM

MENITI JALAN CAHAYA LEWAT SEPAK BOLA
( Surat Buat LA Mania )
Oleh: Rian Sindu*
Suatu saat ada suporter fanatik sebuah tim sepak bola sedang duduk bersama seorang ustadz. Kebetulan juga sedang ramai-ramainya dihelat pertandingan besar sepak bola sejagad, piala dunia. Mereka berdua saling diam. Hanya Sesekali bertukar tanya tentang identitas masing-masing. Aneh, padahal pada saat yang sama di warung, di pasar, di manapun tempat orang berkumpul. Orang-orang sangat seru membahas tentang piala dunia. Tentang skor pertandingan, permainan para pemainnya, gol-gol yang tercipta serta prediksi pertandingan berikutnya. Mungkinkah demam piala dunia tak sampai ke mereka berdua? Ada kekhawatiran pada benak sang suporter jika mengajak sang ustadz mengobrol tentang piala dunia. Takut nanti dianggap ”kedunyan” oleh sang ustad. Hanya sibuk dengan urusan dunia. Begitupun dengan sang ustadz, dia sama sekali tidak mengungkit-ungkit kejuaraan itu. Nampaknya ia menjaga wibawanya sebagai pemuka agama karena tugas ustadz adalah ceramah agama, bukan tukang komentar bola. Meskipun sang ustadz juga suka nonton piala dunia.
Dari cerita rekaan di atas. Para pembaca mungkin berpikiran bahwa agama dan sepak bola sepertinya ditakdirkan tak bisa duduk bersama. Seakan-akan Sepak bola dan agama adalah dua kutub berbeda yang saling bertolak belakang. Dua dunia yang tak saling terkait. Sepakbola ya sepakbola. Agama ya agama. Tak ada hubungan apapun. Tapi apakah benar memang sepeti itu? Apakah benar sepak bola dan agama ditakdirkan untuk saling bermusuhan?
Setidaknya sejarah punya bukti kongkrit. Sering kali terjadi kerusuhan-kerusuhan, yang berkategori besar, bermula dari permainan sikulit bundar ini. Tak jarang kerusuhan itu menelan korban jiwa dan kerugian materi yang tak sedikit. Belum lagi kerusuhan-kerusuhan kecil yang hampir selalu mengiringi perjalanan suatu kompetisi sepak bola di manapun. Baik skala lokal, nasional maupun internasional. Fanatisme yang membabi buta ini ditunjukkan oleh para suporter demi loyalitasnya pada tim yang mereka bela. Rasa memliki yang berlebihan, memicu ketidak terimaan ketika tim yang dibela kalah. Lalu perasaan kecewa itu dilampiaskan dengan bentuk tindakan dekstruktif. Maka terjadilah Tawuran massal, lempar batu, merusak stadion, membakar ban, sepeda, motor, mobil dan merusak fasilitas umum dan lain-lain. Tentu saja perbuatan-perbuatan itu tak bisa dibenarkan oleh agama karena agama tak mengajarkan kekerasan.
Ingatan kita pasti belum lekang ketika nyaris setahun yang lalu tepatnya tanggal 14 September 2006 para oknum bonek (Persebaya) meluluh lantakkan Gelora Tambak Sari, Surabaya. Ketika itu Persebaya akhirnya tak lolos ke babak berikutnya dalam Copa Dji sam su karena kalah agrerat dengan Arema 0-1. Karena kekalahan itu, para bonek jadi gelap mata. Mobil kru salah satu stasiun TV nasional dibakar. Puluhan motor hangus. Di dalam stadionpun tak luput dari amuk massa tersebut. Kursi-kursi rusak, pagar pembatas ambruk, kaca stadion pecah. Meskipun tak ada korban jiwa. Namun insiden ini sempat menjadi head line beberapa surat kabar di Indonesia.
Sepak bola internasional pun tak kalah bergolaknya. Oknum-oknum suporter fanatik dari klub yang sedang bertanding diliga domestik seperti Premier liga, Seri A, La liga atau Bundes liga sering terlibat tawuran di dalam maupun di luar stadion. Di seri A Italia, terjadi kerusuhan besar saat pertandingan derby Sissilia antara Palermo vs Catania yang menewaskan Filippo Raciti, seorang anggota polisi yang waktu itu ikut berusaha mengendalikan kerusuhan. Di tingkat kejuaraan antar klub, seperti liga Champion juga tidak luput dari insiden semacam ini. Malah mungkin lebih mengerikan karena banyak nyawa yang melayang. Beberapa puluh tahun silam, tepatnya pada tanggal 29 Mei 1985, yaitu terjadinya tragedi Heysel dikota Brussel, Belgia yang menewaskan 39 orang ( Pertandingan antara Liverpool vs Juventus dalam final Piala Eropa sebelum berganti nama menjadi Liga Champion ). Menyusul berikutnya tragedi Hillsborough di kota Sheffield Inggris pada tanggal 15 April 1989 yang menewaskan 95 orang dan kurang lebih 200 orang terluka. ( Pertandingan antara Liverpool vs Nothingham Forest di final piala FA ). Sungguh sangat menyedihkan.
Seakan-akan agama memang tak pernah bisa bersanding dengan sepak bola. Anggapan ini memang telah mengakar kuat dibenak masyarakat. Bagaimana suporter sepak bola ketika mereka berkonfoi di jalan, mencegat truk atau mobil umum seenaknya dan perbuatan-perbuatan yang membuat sepak bola terkesan menjadi olahraga ”seram”. Jauh dari nilai moralitas dan ketuhanan.
Namun seberapa seramnya sepak bola, olahraga ini tetap menjadi olahraga favorit. Berjuta-juta orang dimuka bumi ini rata-rata suka dengan jenis olahraga ini. Anda tentu ingat, bagaimana atmosfer ketika dihelat piala dunia? Semua orang antusias mengikuti pertandingan demi pertandingan. Mulai dari direktur sampai para kondektur, setiap hari mengupas habis pertandingan-pertandingan yang digelar. Sepak bola adalah olah raga yang memasyarakat. Paling banyak penikmatnya di muka bumi. Bahkan di Brazil. Sepak bola adalah agama. Di puja-puja layaknya Tuhan.
Sedang agama juga adalah kebutuhan. Salah satu unsur kemanusiaan. Orang tanpa agama adalah orang yang pincang, karena tak ada keseimbangan dalam dirinya. Lalu pantaskah kita menganggap dua unsur ini adalah dua hal yang tak akan bisa bergandengan tangan? Anehkah jika seorang pemuka agama suka bermain atau melihat sepak bola? Dan anehkah jika seorang pesepak bola atau suporternya mengerjakan ibadah sebagai manusia beragama?
Sebenarnya banyak sisi ketuhanan yang dapat kita petik dari sepak bola. Namun stigma bahwa sepak bola itu selalu identik dengan tindakan anarkisme sudah terlanjur mengakar kuat di benak masyarakat sehingga mengaburkan sisi-sisi positif itu. Nah, stigma jelek itu kini nampaknya mulai tergerus melalui pembuktian-pembuktian di lapangan. perhelatan Piala Asia yang dilaksanakan di Jakarta beberapa waktu yang lalu mungkin cukup menjadi bukti bahwa sepak bola tak selalu identik dengan hal yang negatif. Perhelatan piala Asia waktu itu ternyata menyedot antusiasme penonton yang luar biasa banyaknya.
Ketika tim merah putih berlaga. Jakarta seperti lautan manusia Ratusan ribu orang dari berbagai macam golongan, suku, dan agama, tumplek blek jadi satu di senayan. Melepaskan baju-baju fanatisme, esklusifisme, dan membangga-banggakan identitas pribadi. Tak ada yang mengatakan ” Kafir Lu!”, ” Neraka Lu!”, ”Dasar hitam!”, ”Dasar kribo!” atau kalimat-kalimat rasis lainnya. Semua mengatasnamakan nasionalisme bangsa indonesia yang majemuk.
Itu baru Timnas Indonesia, Belum lagi fenomena di timnas Iraq. Kabarnya mereka berangkat dari golongan berbeda ( Syiah dan Sunni ) yang di tanah airnya sedang mengalami konflik sektarian yang mengerikan. Di luar lapangan hijau mereka saling bantai. Ribuan nyawa telah melayang akibat konflik ini. Namun melalui sepak bola dan timnas mereka. Perbedaan itu bisa dihapus. Bahkan ketika Timnas mereka akhirnya menjuarai turnamen ini. Suasana di Irak terlihat sangat meriah. Euforia membahana kemana-mana. Larut dalam kemenangan. Beberapa sekolah diliburkan. Perusahaan-perusahaan diliburkan. Demikian juga konflik sektarian ”diliburkan”. Sejenak untuk merayakan kemenangan. Nah, disinilah letak nilai spiritualitasnya. Di mana agama mengajarkan persatuan dan kasih sayang terhadap sesama.
Sepak bola ternyata juga sangat efektif mentransformasikan nilai-nilai ketuhanan bagi penikmatnya. Ada beberapa pemain yang memanfaaatkan ketenarannya dalam rangka ”dakwah” menyampaikan kebenaran pada para fans dan penontonnya. Ketika mereka berhasil membuat gol, berbagai macam selebrasi unik mereka pertontonkan. Ricardo Kaka misalnya. Gelandang serang AC Milan sekaligus Timnas Brazil ini selalu mengacung-acungkan kedua telunjuknya ke langit sehabis membuat gol. Ia seakan menunjukkan bahwa gol ini adalah wujud rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan yang telah memberinya talenta yang begitu luar biasa. Selebrasi seperti itu juga sering ditunjukkan oleh pemain lain seperti Frederick Kanoute, Jose Antonio Reyes. Bentuk selebrasi yang tak kalah unik juga dilakukan oleh timnas Palestina, Irak dan beberapa tim dari timur tengah lainnya. Sehabis pertandingan, mereka serentak melakukan sujud syukur atas kemenangan yang mereka raih.
Nampaknya sekarang siapapun tak boleh menyalahkan Sepak bola sebagai biang keladi jauhnya manusia pada Tuhannya. Beberapa bintang lapangan hijau seperti Cristiano Ronaldo, Zinedin Zidane, dan Ronaldinho, pernah terlibat beberapa kegiatan sosial. Nah kegiatan para bintang ini juga adalah wujud dari ketaatan pada Tuhan bahwa manusia harus saling tolong menolong satu sama lain. Inikah wajah sepak bola yang katanya jauh dari Tuhan itu?
Namun kadang para suporter memang juga sering terbawa arus kegembiraan berlebihan saat tim yang ia bela menang. Lalu terbawa emosi buta saat timnya menderita kekalahan sehingga menimbulkan tindakan Hooliganisme yang bertentangan dengan moralitas. Kadang para penikmat bola dituntut arif dalam menyikapi apapun yang terjadi. Sehingga tak ikut-ikutan melakukan tindakan-tindakan dekstruktif yang merugikan .
Bagaimana dengan LA mania? Sejauh ini perjalanan LA Mania menggiring persela dalam mengarungi kompetisi relatif baik. Sejak kerusuhan di Surajaya saat pertandingan antara Persela versus Persebaya beberapa tahun lalu, hampir tak ada lagi insiden yang melibatkan LA mania. Kalaupun ada beberapa insiden itu, masih dalam batas kewajaran.
Nampaknya LA mania telah relatif berhasil dalam misinya sabagai kelompok suporter yang santun. Sebagai bukti LA mania telah dinyatakan sebagai kelompok suporter paling fair play oleh PSSI pada putaran pertama Ligina tahun ini. Setidaknya LA mania telah berhasil menghapus anggapan bahwa suporter bola identik dengan kekerasan dan aksi anarkisme. LA mania telah berhasil menunjukan pada masyarakat bahwa menjadi suporter sebuah tim sepak bola tak harus tawuran, lempar batu, membakar bangku stadion atau perbuatan-perbuatan tak baik lainnya. Bahwa suporter sepak bola itu bisa melakukan hal-hal yang positif seperti yang telah dilakuakan LA mania. Misalnya LA mania ikut dalam kegiatan sosial seperti donor darah dan pengumpulan dana bantuan bencana alam.
Tidak cukup itu saja. LA mania sebagai manusia beragama juga tidak boleh meninggalkan kewajibannya sebagai umat Tuhan. Sebagai LA Mania sejati, kita punya hak untuk melihat bola dan mendukung tim pujaan kita. Maka Tuhan memberi kita mata untuk bisa melihat, memberi waktu luang untuk bisa ke stadion atau menonton TV, dan memberi rizki sehingga kita bisa membeli karcis masuk. Kompensasinya, kita juga wajib melaksanakan hak Tuhan atas diri kita untuk menaati semua kewajiban yang telah digariskan. Tentu saja tak mungkin kita sebagai LA Mania sejati melucuti semua pakaian lalu berjoget-jeget ria di tengah orang banyak ketika Persela berhasil membobol gawang lawan. Demikan pula ketika persela kebobolan atau kalah dalam sebuah pertandingan. Tak serta merta membuat kita sedih berkepanjangan, tak mau makan, atau bahkan bunuh diri.
Jika semua itu terwujud maka sejatinya kita adalah pemain bola juga yang sama-sama ingin mencetak gol ke gawang lawan. Dan mendapatkan kemenangan. Kemenagan sejati. Di kehidupan dunia serta dunia setelah kehidupan. Maka, sepak bola terasa begitu indah.....(rian_gian)

*Penulis adalah Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Lamongandan penikmat bola.

1 komentar:

Indarto mengatakan...

Aslkm. Wah ternyata ada juga dr FLP yg suka bola. Cb buat cerpen atau bahkan novel tentang bola. Frederick Kanoute mmng sangat taat menjalankan ajaran Islam. Slama bulan Ramadhan meskipun sdng dlm kompetisi sepakbola kl bertanding dia tetap menjalankan ibadah puasa. Sblum bermain di liga Spanyol bersama Sevilla, dia bermain di Tottenham Hotspur (Inggris). Dia menyatakan agar dijual oleh pemilik klub karna sponsor yang melekat di kaos tim adalah Mansion (merk bir terkenal di Inggris Raya). Gitu