Sabtu, 11 Oktober 2008

cerpen of the month!

Merah Menulis Cinta*
by : juna satya

Ruang kelas lima sekolah dasar negeri itu tampak mencekam hari ini. Ibu guru berjalan pelan di antara barisan bangku-bangku dengan suara sepatunya yang mendominasi. Para murid menundukkan kepala, tak ada suara-suara yang keluar dari mulut mereka. Pensil dan ballpoint tidak tampak bergerak di atas kertas, hanya bermain di sela-sela jari tak berbunyi. Mereka menunggu sebuah pertanyaan. Ibu guru yang cantik itu bersikap galak hari ini. Minggu-minggu ini para guru bersikap semakin ganas. Khabar yang tak jelas berhembus; hal ini dipicu oleh demo kenaikan gaji yang dilakukan persatuan guru di Jakarta yang tak kunjung dikabulkan oleh wakil rakyat.
“Siapa yang belum mengerjakan?” Suara Ibu guru memecah keheningan. Ia bertanya tentang sebuah pekerjaan rumah membuat karangan yang diberikannya satu minggu yang lalu. Sebuah karangan sederhana, satu lembar kertas kuarto. Di tepi bagian atas lembar-lembar kosong berwarna putih itu tertulis.
TULISKAN BUKTI CINTA PADA IBUMU!
Dari perintah itulah para murid harus membuat karangan satu lembar penuh. Bocah-bocah itu tidak mengangkat tangan, tanda seakan ketiga puluh murid selesai mengerjakannya. Ibu guru masih menyapukan pandangan dari ujung ke ujung kelas berulang kali. Saat itulah seorang murid yang duduk di sayap sebelah kanan bangku paling belakang mengangkat tangan dengan ragu-ragu, tetap dengan kepala menunduk. Sebatang pensil tampak bergetar di ujung tangan yang tidak tegak. Telapak tangan yang berkulit kasar dan ada satu bekas luka yang hanya tampak sebagai sebuah noda hitam kecil di pergelangan tangan. Sebuah luka akibat sabit yang tidak dengan sengaja menggores kulit.
“Tole! Kamu lagi, kenapa tidak mengerjakan?” Wajah Tole menegang tanpa memberikan jawaban. Bocah yang tidak naik dua kali itu tertunduk lesu seperti seorang terdakwa yang sudah dinyatakan dihukum oleh sebuah tindakan yang tak mungkin disangkal. Tole memang residivis kelas. Ia tidak naik dua kali. Nilainya hancur lebur berwarna merah hitam. Separo merah, separo hitam. Meskipun ia pun tak tahu sejak kapan nilai lima kebawah harus ditulis dengan tinta berwarna merah, bahkan semerah darah. Tole pernah bertanya pada tukang kebun sekolah, “Kalau orang bilang sih merah itu lambang cinta Tole,” Jawab Pak tukang kebun sekenanya. Tole hanya mengangguk tanda kebingungan yang makin menumpuk. Teman-teman disekolahya menyebut ia anak bodoh. Diapun makin bingung kenapa harus merah.
“Saya tidak bisa mengarang Ibu!” Jawab tole pelan.
“Kalau kamu tidak mengumpulkan minggu depan, nilai kamu akan merah lagi!” Ibu guru mengancam.
Pelajaran berakhir beberapa jam kemudian. Dalam sekejab halaman sekolah telah penuh oleh murid-murid yang bertebaran menuju pulang. Debu-debu mengepul kala anak-anak berbaju merah putih berlarian tak beraturan menuju gerbang. Panas kemarau memaksa tanah-tanah tipis yang kering di lapisan atas menjadi butiran butiran lembut terbang tanpa arah membentuk turbulensi disekitar tubuh-tubuh kecil mereka. Wajah-wajah yang telah layu tetap saja masih bisa tertawa, berteriak saling mengejek dan berkejar-kejaran. Tole berlari cepat diantara kerumunan keramaian itu tak peduli dengan seragamnya yang compang-camping, baju yang keluar dari celana pendeknya. Ia tembus bottle neck yang terjadi di pintu gerbang. Ia terus berlari tanpa peduli teriakan gadis-gadis kecil yang dengan tidak sengaja disenggolnya. Berlari terus menuju rumah.
“Makan dulu Le!” Ibunya menyeru.
“Sudah Bu! Sekarang aku mau berangkat dulu!”
Tole tidak lagi berpakain merah-putih, melainkan memakai celana pendek usang warna coklat tak berikat pinggang dan kaos oblong warna krem. Kaos yang telah dipenuhi oleh getah-getah yang telah mengering hingga terkesan seperti noda-noda yang menempel pada kain yang tak bisa dihilangkan. Bahkan dibagian lain, noda seperti bekas darah yang menetes pada kain putih yang mengering menjadi coklat. Secara keseluruhan noda-noda membentuk sebuah lukisan berpola abstrak. Pakaian khusus yang setiap hari ia pergunakan untuk mencari rumput di pematang-pematang sawah. Disakunya tersimpan satu pensil dan selembar kertas kuarto dari ibu guru. Ia berpikir barangkali ia akan mendapatkan inspirasi untuk menulis dibawah rindangnya pohon sehabis memotong rumput.
Siang itu ia susuri jalanan aspal yang mulai berlubang menuju sawah di ujung kampung. Kaki-kaki kecilnya melangkah tergesa-gesa hingga terkesan setengah berlari menghindari panas yang dengan cepat merambat keujung otak memerintahkan syaraf merasakan sakit. Di ujung kampung seorang pemuda menyapa.
“Mau kemana panas-panas gini Le?” Sakri bertanya bersama kepulan asap rokok dari mulutnya.
“Biasa Lek..!. mencari rumput” jawab Tole sambil tetap berjalan. Tangan kanannya memegang sabit yang telah terasah. Tangan kirinya memegang karung bekas pupuk berwarna putih sebagai tempat rumputnya nanti.
Sakri sebenarnya sudah tahu bahwa Tole dan juga anak-anak kecil di kampung itu memang rajin mencari rumput. Hampir semua anak di kampung kecil itu, rajin membantu orang tua dengan memelihara kambing atau sapi, kecuali Sakri. Meskipun tergolong miskin dibanding kebanyakan orang, tapi Sakri memang pemalas sejak kecil. Sehingga ia tetap menjadi pengangguran hingga umurnya hampir 17 tahun saat ini. Yang dilakukannya hanyalah mabuk bir murahan dan nongkrong-nongkrong di pos kecil yang terletak di tepian jalan antara kampung dan areal persawahan. Malamnya ia bersama gengnya akan melakukan pemerasan kecil-kecilan atau tindakan pencurian ayam-ayam di kampung tetangga.
“Mencari rumput untuk ibumu ya!?” Sakri mengejek. Tole berlalu begitu saja tidak menjawab
Rupanya hari ini Tole tidak beruntung. Ia salah memilih sawah. Itu adalah biasa sebab pencari rumput tidak punya peta atau arah. Mereka hanya bermain degan firasat tentang arah mana yang akan mereka tuju. Jika tepat, mereka akan mendapatkan rumput dengan kualitas bagus secara cepat, jika tidak maka sebaliknya ia akan berjalan-jalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Begitulah Tole hari ini, maka sampai jam tiga sore pun karungnya belum penuh dengan rumput padahal jadwal film kartun kesukaannya yang diputar setiap hari kamis-hari ini- telah dimulai. Tuntutan karung penuh tidak bisa ditawar, maka iapun harus rela melewatkan serial itu minggu ini.
“Kok lama Le mencari rumputnya?” Ibunya menyapa. Tole memasuki rumah dengan wajah lusuh dan capai. Keringat masih membasahi sebagaian besar tubuh dan juga kepalanya.
“Iya Ibu, akhir-akhir ini cari rumput agak susah, soalnya banyak orang yang pelihara kambing.” Tole menjawab dengan lesu.
Ibunya tersenyum dibelainya rambut anaknya yang basah oleh keringat. Dilepaskannya kaos yang juga basah oleh keringat yang bercampur dengan bau rumput-rumput liar. Dengan kaos itu, perlahan ia mengusap rambut Tole yang ujung-ujungnya memerah karena ultraviolet. Belaian itu merasuk ke jiwa Tole setiap hari, menjadikan ia tak pernah melawan perintah dari ibunya. Belaian itu adalah kasih sayang yang mencandukannnya. Sesuatu yang tak tampak tetapi membuat hatinya selalu ingin lebih. Lebih setiap hari, setiap waktu, dan juga setiap ruang. Seperti cinta yang berasa kuat tapi tak pernah bisa ditulis, digambar ataupun diwarnai.
Hari ini adalah hari Sabtu, siang ini matahari tampak malu menampakkan diri. Siang menjadi pekat dengan hawa yang pengab. Tole menyusuri jalanan kampung dengan jalanan aspal yang masih menghangat menuju sawah dengan tetap memainkan firasatnya. Awan-awan mengiringi kegundahan dan pengab hatinya. Tadi pagi ia kembali dapat ancaman nilai merah, kali ini dipelajaran menggambar. Sebab selama ini ia tak bisa menggambar dengan warna yang tepat menurut gurunya. Ia akan mewarnai daun dengan warna biru, pohon dengan warna merah dan ranting dengan warna hitam, bahkan langit digambarnya berwarna pink. Sehingga teman-temannya selalu menggapnya anak yang aneh. Gurunya menganggapnya tidak normal. Tetapi tentu ia tidak merasa. Hari ini hatinya penuh dengan gundah dan seribu pertanyaan, termasuk soal warna merah. Kenapa harus merah?.
“Hoi..! mau kemana Tole?” Sakri yang setiap hari di pos itu menyapa dengan suara lantang.
“Biasa Lek..!” Jawab Tole singkat
“Mencari rumput untuk ibumu ya! Kambing itu belum dijual juga!” Tole tidak bersuara tapi tatap matanya yang biasanya menuju pusat bumi searah gravitasi kini berarah tepat di antara bola mata Sukri.
“Tole..Tole.. sekali-kali ibumu itu disuruh kesawah sendiri. Suruhlah makan rumput langsung di sana!”
Mendengar itu Tole tanpa kata melangkah ke arah Sakri yang berdiri beberapa meter dengan pelan. Sekuat tenaga ia arahkan sabit yang mengkilap tajam ke perut Sakri secara datar. Sakri kaget, terdiam, terhipnotis, tak bergerak. Sepersekian detik sabit berarah vertikal dari kepala menuju dada. Sakri tersadar mencoba mengelak dengan tangannya tapi tetap saja tangannya adalah daging yang lemah dan tetap kalah dengan tajamnya sabit yang baru diasah. Belum sempat Sakri merasakan sakit ataupun berteriak, sabit sudah mendarat bertubi tubi untuk kesekian kali dari berbagai arah yang tak terduga. Sakri jatuh, sedang Tole makin membabi buta. Muka, leher, dada, telah megalirkan darah merah segar yang sebagain telah muncrat memercik ke kaos dan celana Tole. Dalam posisi itu Tole belum juga berhenti entah sudah berapa tebasan hingga akhirnya Tole merasa lemah dan berkeringat. Sakri sudah tak bernyawa lagi.
Selang kemudian iapun berlari sekuat tubuhnya dengan sabit berlumuran darah ditangan kanan. Ia berlari cepat secepat menebaskan sabit pada rumput-rumput liar. Tubuhnya streamline memecah udara tak bergerak berbau sawah, seperti peluru keluar dari lubang senapan. Ia bersama firasat pencari rumputnya terus berlari, turun naik pematang sawah, meloncat diantara batu-batu menyebrang sungai, dan masuk diantara pohon-pohon rindang. Hingga tubuhnya melemah entah ia dimana kini. Hutan kian sunyi, tubuhnya tergolek dibawah pohon berdaun lebat. Tangannya kosong bernoda darah yang telah kering dengan sabit yang tak ia sadari entah terjatuh dimana. Ia rogoh kantung celananya, pensil yang selalu ia bawapun telah hilang entah kemana. Yang tersisa adakah kertas kuarto dengan lipatan empat. Dibukanya kertas itu, “TULISKAN BUKTI CINTA PADA IBUMU!” masih tetap tertulis disana. Hanya saja kini di bawah tulisan itu ada noda darah tak berpola berwarna merah memenuhi hampir semua halaman. Ia ingin menuliskan bukti cinta saat ini, tetapi ia tersadar pensilnya telah menghilang.

* penulis adalah anggota dan pengurus FLP Lamongan

Tidak ada komentar: